Saat ini pertanian organik menjadi teknologi pertanian alternatif yang banyak diterapkan oleh petani. Istilah "organik" itu sendiri, di kalangan tertentu dimaksudkan untuk membedakan ciri antara pertanian dengan menggunakan asupan buatan secara kimia dan pertanian yang dibuat berdasarkan atas ketersediaan bahan di lokal tertentu. Dalam berbagai diskusi, terutama di kalangan Non Government Organization (NGO) sebagai fasilitator petani di tingkat grass root, penggunaan pilihan istilah tersebut masih beragam.
Istilah lain yang sering dipergunakan ialah pertanian lestari, pertanian alami, pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), pertanian selaras alam dan LEISA (Low External Input and Sustainable Agriculture). Reijntjes, et.al, (1992) mengatakan bahwa paling tidak ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam konsep pertanian berkelanjutan, (1) mantap secara ekologis, (2) bisa berlanjut secara ekonomi, (3) adil, (4) manusiawi, dan (5) luwes. Salah satu lembaga yang turut mempromosikan pertanian dengan asupan luar rendah adalah ILEIA (Information Centre for Low External Input And Sustainable Agriculture), sebuah lembaga informasi pertanian di Belanda sebagi pusat informasi dan promosi pertanian dengan asupan luar rendah dan berkelanjutan. Selain itu ILEIA juga memfasilitasi pengembangan pertanian di lokasi yang tidak sesuai untuk penggunaan asupan luar yang tinggi dan kepentingan memadukan LEISA dengan sumber-sumber dan pengetahuan lokal yang menggunakan asupan luar secara arif.
Namun dari berbagai istilah yang dipergunakan, setidaknya terdapat tiga muatan penting yang perlu ditekankan sebagai ciri yang mengikutinya, yaitu (1) basis pada sumberdaya lokal, (2) teknologi yang dipergunakan, dan (3) berkelanjutan. Ketiga hal tersebut merupakan buah refleksi atas pengalaman bertani pada masa lalu bahwa intervensi pemerintah pada sektor pertanian terlalu besar, dan petani hanya dijadikan obyek pembangunan saja sehingga petani tidak memiliki kreativitas untuk mengembangkan usaha taninya secara mandiri.
Selain masalah peran petani di atas lahannya sendiri, kelemahan bertani pada masa lalu menimbulkan banyak persoalan antara lain masalah biaya operasional yang tinggi, degradasi lahan, hama yang tidak terkendali, berkurangnya kesempatan kerja perempuan, berkurangnya sumberdaya genetik dan varietas lokal, ketergantungan, dan kemiskinan di perdesaan. Meski demikian, beberapa penulis juga mengakui bahwa (1) introduksi berbagai varietas padi unggul berumur pendek, (2) supplai yang besar untuk pupuk yang disubsidi, (3) perbaikan dan penyempurnaan jaringan irigasi, dan (4) komitmen di semua lini birokrasi pemerintahan untuk menaikkan produksi padi mengakibatkan kenaikan produksi yang spektakuler, dan mengakibatkan Jawa Timur sebagai "rice basket" pada tahun 1980-an, dan menyebabkan propinsi Jawa Timur memberikan kontribusi terbesar dibandingkan propinsi lain di Jawa, yakni sebesar 20,1% dari total produksi nasional pada tahun 1986. Pada kisaran tahun yang sama, secara nasional produksi beras juga mengalami kenaikan yang cukup berarti. Namun Francis Wahono (1999) mengemukakan fakta yang lain bahwa import beras Indonesia benar-benar nol persen itu hanya terjadi pada tahun 1985 saja, setelah tahun 1990 impor beras nasional tidak pernah nol lagi.
Persoalan-persoalan pertanian pada masa lalu tersebut bisa dikatakan terjadi dalam seluruh lini proses bertani. Persoalan tersebut bukan lagi berada pada tataran bertani sebagai unit usaha, namun sudah meluas ke persoalan sosial, dan kebudayaan bertani itu sendiri. Maka dalam konteks persoalan pertanian secara keseluruhan, pertanian organik saat ini menjadi sebuah "solusi" terutama yang berkaitan dengan persoalan lingkungan dan sumberdaya pertanian, kultur bertani, keragaman hayati, independensi pelaku bertani, dan keadilan pasar (fair trade), seperti yang dinyatakan oleh Gunnar Rundgren (2001), presiden IFOAM tentang pertanian organik.
Karena keterbatasan literatur yang menampilkan data empiris mengenai pertanian organik di Indonesia, maka tulisan ini lebih banyak mengemukakan pertanian organik secara normatif dengan mengoptimalkan informasi yang ada. Oleh karena itu, tulisan ini tidak akan melihat pertanian organik secara holistik, akan tetapi mencoba "meraba" kekuatan pertanian organik dalam mengatasi persoalan di atas. Penulis mencoba mengkontekstualisasikan pertanian organik dalam situasi saat ini, di mana bangsa Indonesia mengalami krisis multi dimensi, dan bagaimana peluang pertanian organik dalam pembangunan sosial, ekonomi, dan budaya bertani.
Pertanian Organik sebagai Media Pendidikan Horisontal
Presiden IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Movement), Gunnar Rundgren, (2001) melaporkan bahwa terdapat banyak solusi yang ditawarkan melalui bertani secara organik. Salah satu yang penting untuk diberi highlighted adalah masalah peningkatan kapasitas organisasi tani.
Pertanian Organik, Lingkungan, Ketersediaan, dan Kecukupan Pangan
Bila diartikan secara lebih dalam, ungkapan peningkatan kapasitas organisasi tani mengandung muatan "pendidikan". Pendidikan yang terdapat di sini lebih ditekankan pada proses bernalar dengan pendekatan participatory action research, karena petani tidak punya sekolah dan guru, petani hanya memiliki fasilitator entah dari pemerintah, atau lembaga publik lainnya. Proses inilah yang memberikan jaminan akan partisipasi petani dalam bertani. Pengalaman empiris yang terjadi di beberapa wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur, diseminasi bertani secara organik lebih banyak dimulai di tingkat petani, sehingga bertani secara organik mempunyai arti sebagai media pendidikan horisontal, yang selama ini tidak diemban secara serius oleh organisasi tani "formal".
Dalam hal ini sebenarnya dengan bertani secara organik yang berbasis pada konteksnya akan memberikan kontribusi pada pemberian peluang yang luas bagi petani untuk menjadi manusia cerdas, dan berdasarkan atas pengalaman pelaku petani di pegunungan kapur selatan Jawa Timur pertanian organik yang saat ini dijalankan merupakan kombinasi antara pertanian intuitif yang terwariskan secara turun temurun dengan nalar yang selalu diperbaharui menurut konteksnya. Dan inilah yang dimaksud oleh Gunnar Rundgren bahwa akan terjadi revitalisasi nilai lama dan pembentukan nilai baru dalam masyarakat petani.
Karena salah satu muatan pertanian organik adalah berbasis pada sumberdaya lokal seperti penggunaan dan pemeliharaan bibit lokal, pemanfaatan ulang sampah organik dan kotoran organik, maka nilai kearifan terhadap pengelolaan dan penataan sumberdaya dengan sendirinya akan didialogkan di tingkat horisontal menjadi point of view dalam bertani secara organik. Dengan sendirinya, peran pihak luar hanya diperlukan ketika petani memerlukan solusi khusus mengenai persoalan praktis di lapangan dan memfasilitasi hubungan keluar dengan pihak lain. Interaksi terus menerus yang menekankan pada proses mencari dan menemukan akan menjadikan pertanian di Indonesia maju, bukan dalam konsepsi Iptek dan konsepsi matematika, namun dalam konsepsi budaya.
Pertanian Organik, Lingkungan, Ketersediaan, dan Kecukupan Pangan
Dalam sejarah bertani seperti yang disebutkan Website of Indonesia Environment and Development (http://www.lablink.or.id), bahwa perkembangan pertanian dari zaman ke zaman banyak dipengaruhi pengetahuan lokal (indigenous knowledge). Pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang berada dalam suatu masyarakat dimana selalu dikembangkan sepanjang waktu dan diteruskan untuk pembangunan yang bersifat berdasarkan atas pengalaman, selalu dikaji ulang penggunaannya, diadaptasikan dalam budaya dan lingkungan lokal, selalu berubah dan dinamis (http://www.panasia.org.sg). Pada konteks di atas, secara budaya, proses bertani organik adalah bertani yang bisa dikategorikan "masih konsisten" dalam keberlanjutan pertanian masa lalu.
Artinya bahwa introduksi pertanian organik ditingkat petani akan mempengaruhi perubahan budaya yang dicirikan oleh perubahan nilai hidup komunitas. Perubahan budaya yang dimaksudkan di sini adalah perubahan yang lebih baik dan beradab selain menjawab isu-isu mendasar saat ini seperti demokrasi, gender, relasi patron-client, ketimpangan kepemilikan dan penggunaan sumberdaya.
Francis Wahono, seorang ekonom, dalam Wacana (2000) mengatakan bahwa masalah dalam kebertanian bukan semata-mata penataan lahan, produksi, dan distribusi. Tetapi kegiatan bertani adalah kegiatan yang melibatkan penataan dan pengolahan lahan, produksi dan distribusi, yang tidak hanya untuk memperbanyak makanan sehingga cukup sampai berkelimpahan, tetapi dengan bekerja demikian manusia akan semakin memaknai dan dihargai hidupnya. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa hal yang penting dalam bertani adalah faktor manusia, alam, dan teknologi.
Definisi yang diberikan di atas sebenarnya sudah bermuatan tujuan, dan secara argumentatif, tujuan berupa kemakmuran rakyat menurut batasan di atas, dalam konteks kini lebih ditekankan pada "kelangsungan hidup" rakyat, dimana istilah tersebut mengandung muatan kesadaran baru akan kelestarian lingkungan hidup, yaitu kelestarian terhadap hidup petani, keturunannya, alam dan isinya.
Salah satu kekuatan pertanian organik dengan muatan yang sudah didiskusikan di atas, adalah kekuatan dalam mempengaruhi cara berfikir dan sikap petani dalam memilih, mengalokasikan, dan mengelola sumberdaya untuk produksi dan distribusi, mempertimbangkan kelangsungan hidupnya dan keturunannya. Pertimbangan memilih, mengalokasikan, dan mengelola sumberdaya bukan lagi didasarkan oleh pertimbangan "praktis" mengenai harga dan ketersediaan barang di pasaran, akan tetapi justru akan memperluas cakrawala kreatif terhadap upaya memperpanjang siklus energi. Dengan demikian maka, dengan sendirinya kekhawatiran mengenai kelangkaan sumberdaya akan teratasi, dan petani tidak tercabut dari akar budayanya dalam kegiatan bertani.
Kembali pada kemakmuran rakyat sebagai tujuan dalam bertani, pengalaman petani di kabupaten Pacitan Jawa Timur menyebutkan bahwa penanaman padi cempo welut (salah satu jenis padi lokal) pada musim tanam yang lalu di atas lahan seluas 900m², dengan menggunakan pupuk kompos, pencegahan hama dengan gadung, dan benih sebanyak 25 beruk (sekitar 17,5kg) menghasilkan gabah kering sebanyak 450kg, hal ini berbeda sangat significant jika dibandingkan dengan pengalaman tanam pada masa lalu yang sarat dengan asupan dari luar baik pupuk maupun pestisida, bahwa dengan jumlah benih yang kurang lebih sama hanya menghasilkan gabah kering sekitar 200 hingga 250kg (Thukul, edisi 2, Maret 2001). Panenan yang diperoleh lalu dibagikan ke anggota dan non anggota kelompok tani dengan mekanisme "ijol".
Mekanisme seperti ini adalah karya dari indigenous knowledge yang dimiliki petani, dipelihara dan dikembangkan secara terus menerus. Dari sisi kepentingan "lumbung benih" petani yang membagikan benih mencatat siapa saja yang menyimpan benih tersebut, dan demikian seterusnya. Dengan demikian jaminan akan ketersediaan benih yang beragam dan sesuai dengan tanahnya akan selalu menjadi bagian tanggungjawab komunitas (kolektif), seperti dalam penggunaan air. Dalam pertanian organik hal ini disebut sebagai lumbung benih komunitas yang hidup, karena bukan bersifat material seperti gudang untuk menempatkan gabah panenan, tetapi justru ditanam, dan ditanam kembali. Hal ini sebenarnya adalah usaha kolektif dalam proses stabilisasi strain (varietas) yang cocok dengan kondisi tanah setempat.
Keuntungannya selain diperoleh varietas yang "stabil" produksinya, juga varietas tersebut tidak akan punah karena kerusakan fisik, kimia, perubahan cuaca, atau kerusakan lain karena penanganan yang tidak sesuai. Dengan demikian maka pertanian organik dalam konteks lingkungan dan kemakmuran rakyat lebih berfungsi dalam membangun supporting system dalam memilih, mengalokasikan, dan mengelola sumberdayanya. Dengan kemampuan manusia pelaku bertani, supporting system secara kolektif tersedia, maka lingkungan, keberlanjutan produksi, dan ketersediaan pangan akan terjaga. Dari sisi kecukupan pangan petani tidak akan kehilangan jenis dan jumlah pangan yang sehat.
Pertanian Organik dan Pendapatan Petani
Sebagai salah satu tumpuan hidup 44,97% penduduk Indonesia (Sakernas, 1998), pertanian justru memberikan kontribusi (17,3%) lebih rendah dari sektor industri (25,2%) (BPS, 1993). Terlepas dari persoalan penambahan tenaga kerja ke perdesaan, namun jua karena perhatian pemerintah dalam pemulihan ekonomi (economic recovery) hanya dikhususkan untuk sektor industri dan perbankan. Kalaupun ada, tidak seserius di sektor industri dan masih mengalami kendala perilaku birokrasi. Selain masalah ketertinggalan sektor pertanian sektor industri, hal ini menunjukkan pula bahwa sektor pertanian sebagai salah satu sektor perekonomian tidak mampu memberikan kehidupan (insentif) yang layak bagi penduduk yang bekerja pada sektor tersebut.
Hal ini diperkuat oleh studi yang dilakukan Collier (1996), bahwa banyak buruh tani tuna kisma (landless) di Jawa mempunyai sumber-sumber pendapatan yang amat terbatas, dimana kecil peluang untuk mendapatkan pekerjaan di luar pertanian. Dan selama masa tersebut kemiskinan terdapat secara meluas baik di perdesaan maupun perkotaan di Jawa. Beberapa persoalan ini muncul akibat konversi lahan pertanian menjadi lahan industri, yang mengakibatkan penguasaan lahan pertanian menjadi lebih kecil (kurang dari 05 ha), dan penurunan nilai tukar petani.
Jika dirunut lebih jauh terdapat dua pertanyaan yang menjadi kunci dalam bertani, yaitu (1) persoalan lahan yang sempit dapat ditingkatkan produksinya, dan (2) masalah nilai tukar produk pertanian organik. Menghadapi persoalan yang begitu rumit di perdesaan, pertanian organik tidak mampu menjawab secara langsung saat ini. Akan tetapi sebagai sebuah peluang, pertanian organik tetap akan mempunyai peluang yang kuat dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga petani. Pengalaman bertani organik yang dilakukan sebuah NGO di Cisarua Bogor, menunjukkan bahwa pertanian organik mampu mengatasi persoalan lahan untuk produksi. Dari pengalaman tersebut dapat dikatakan bahwa pola bertanam yang multikultur dengan diversifikasi jenis dan pola tumpangsari bisa mengatasi hal ini. Khusus untuk sayuran, sangat memadai untuk dibudidayakan secara organik di lahan yang sempit, karena harga sayur relatif lebih baik sehingga penerimaan petani masih cukup untuk menutup biaya produksi.
Saat ini yang dapat dilakukan masih dalam taraf penghematan akibat pemanfaatan bahan sisa di komunitas petani. Bagi rumah tangga petani tambahan pendapatan masih disebabkan karena kenaikan harga produk pertanian organik karena pergeseran selera konsumen, terutama konsumen yang memiliki kesadaran akan makanan yang sehat. Pergeseran ini menyebabkan kenaikan permintaan akan produk organik. Beberapa pengalaman lapangan menyebutkan bahwa bagi petani yang belum mempunyai pasar khusus produk pertanian organik masih menggunakan acuan harga pasar umum yang belum menggunakan acuan kualifikasi produk yang ditawarkan. Artinya bahwa pertanian organik masih berada pada tataran upaya mengurangi cost untuk produksi, bukan dalam meningkatkan nilai tukar produk pertanian. Sedangkan mengenai nilai tukar produknya sendiri sangat ditentukan oleh pasar.
Beberapa hal yang paling tidak perlu dipersiapkan adalah peran pemerintah dalam menggairahkan produksi produk pertanian organik. Hal ini pernah dilakukan dalam program Jaringan Pengaman Sosial, yaitu PMT-AS (Pemberian Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah) untuk anak sekolah dasar. Sayangnya kegiatan tersebut tidak disertai dengan insentif yang memadai kepada petani sebagai penyedia bahan. Namun sebagai sebuah promosi, hal itu sebenarnya menunjukkan bahwa peran pemerintah cukup baik dalam memberikan wacana baru tentang produk organik. Beberapa saat yang lalu, di sebuah media massa juga disebutkan sebuah NGO di Boyolali "membangun" pasar alternatif khusus untuk produk pertanian organik (termasuk juga warung organik SAHANI), dengan harga yang lebih tinggi daripada harga produk non pertanian organik.
Pada sisi pendapatan petani, hal tersebut akan menjadi peluang yang baik, namun bagi masyarakat yang bekerja di luar sektor pertanian dan tinggal di perkotaan akan kesulitan membeli makanan yang sehat, karena makanan yang layak dan sehat baru dimiliki oleh masyarakat yang mampu secara ekonomi.